KARBON MONOKSIDA BERISIKO TERHADAP BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR)?
Pada pertengahan tahun 1970-an beberapa pakar melaporkan adanya tanda bahwa polusi udara mungkin lebih berbahaya di dapur rata-rata rumah dibanding di luar rumah yang dekat dengan jalan raya (Haryoto, 1995 : 50) . Adapun sumber polusi dalam rumah adalah pembakaran dalam rumah untuk keperluan memasak dan pemanas ruangan. Gas alam yang merupakan bahan bakar yang paling umum digunakan terutama menghasilkan nitrogen dioksida dan karbon monoksida bersama dengan produk pembakaran yang tidak berbahaya. Jika kayu dibakar dalam suatu perapian atau untuk memasak (yang dilakukan dibanyak negara), selain polutan tersebut akan ditambahkan lagi partikulat dan sejumlah besar hidrokarbon. Paparan karbon monoksida selama masa kehamilan “mungkin†berhubungan dengan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan mungkin mengurangi kemampuan mental anak (WHO, 1996)
Apakah Carbon Monoksida itu ?
CO adalah gas yang mudah terbakar,tidak berwarna dan tidak berbau. CO ada dimana mana di sekitar lingkungan kita, diproduksi oleh pembakaran yang tidak sempurna. Menurut Lioy dan Daisey (1987) Karbon Monoksida dihasilkan dari pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil. Sedangkan menurut Manahan (1992) karbon monoksida adalah gas industri beracun yang diproduksi oleh pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar carbonous. Sumber karbon monoksida dari lingkungan diluar tempat kerja adalah pemanas ruangan, tungku perapian dan pembakaran mesin, batu bara, kayu bakar, juga dihasilkan dari dalam tubuh oleh katabolisme dari hemoglobin dan protein heme.
Standar utama untuk udara ambien dari karbon monoksida adalah 9 ppm untuk rata-rata waktu 8 jam, dan 35 ppm untuk standar waktu 1 jam (Nebel dan Wright, 1993), sedangkan WHO merekomendasikan sebagai berikut,
a.100 mg/m3 (87 ppm) selama 15 menit
b. 60 mg/m3 (52 ppm) selama 30 menit
a. 30 mg/m3 (26 ppm) selama 1 jam
b. 10 mg/m3 (9 ppm) selama 8 jam
Berdasarkan “Fairbank North Star Borough Environmental Services “ (Tom Gosink, 1983) menggunakan kriteria sebagai berikut :
a. Kualitas udara baik, kandungan CO kurang dari 9 ppm
b. Kualitas udara sedang, kandungan CO 9 – 15 ppm
c. Kualitas udara buruk, kandungan CO lebih dari 15 ppm.
Menurut WHO (1999) ada kesamaan antara asap rokok dengan asap dari bahan pembakaran biomassa. Pemakaian bahan bakar kayu dan arang untuk keperluan memasak di wilayah perkotaan maupun pedesaan secara rata-rata adalah 87,4 % dari total penggunaan bahan bakar pada tahun 1971 kemudian menjadi 70,9 % pada tahun 1990 (Depkes, 1997). Berdasarkan survei pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga di Jawa Tengah tahun 1999, pengeluaran rata-rata per Kapita untuk pembelian kayu bakar dan bahan bakar lain adalah Rp. 3.093. lebih tinggi dari pengeluaran untuk minyak tanah (Rp 1.093) dan LPG (Rp. 43).
Di negara –negara berkembang, masalah polusi udara dalam ruangan yang penting adalah polusi dalam rumah, dimana ada yang memasak dan atau membakar kayu untuk pemanasan tanpa cerobong asap yang memadai. Menurut Sumarwoto (2001), pengunaan bahan bakar biomassa (BBB) pada tingkat nasional sekitar 80 % jumlah rumah tangga menggunakan BBB yang terdiri atas kayu, residu pertanian, dan arang. Di daerah perdesaan lebih dari 90 % rumah tangga (BPS,1990). Pembakaran kayu bakar menghasilkan antara lain, CO, SO2, NOx, ammonia, HCL, hidrokarbon, antara lain formaldehide, benzene, dan benzo(a)pyrene yang merupakan karsinogen potensial dan partikulat (SPM=suspended particulate matter). SPM , hidrokarbon dan CO dihasilkan dalam kadar yang tinggi.
Metabolisme dan Interaksi Biokimia
Lebih kurang 80 % - 90 % dari jumlah CO yang diabsorbsi berikatan dengan hemoglobin, membentuk carboxyhemoglobin (HbCO). HbCO menyebabkan lepasnya ikatan oxyhemoglobin dan mereduksi kapasitas transport oksigen dalam darah. Afinitas ikatan karbon monoksida dan hemoglobin adalah 200 – 250 kali dari oksigen (WHO,1996), 200-300 kali (Kindwall,1994 ), 200 kali (James,1985). Karbon monoksida masuk kedalam aliran darah melalui paru-paru dan bereaksi dengan hemoglobin (Hb) dengan reaksi sebagai berikut :
O2 + CO COHb + O2 (Manahan,1992)
Carboxyhemoglobin beberapa kali lebih stabil dibandingkan dengan oxyhemoglobin sehingga reaksi ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas darah untuk menyalurkan O2 kepada jaringan tubuh. Jika kita duduk di udara dengan kadar karbon monoksida 60 bpj selama 8 jam, maka kemampuan mengikat oksigen oleh darah itu turun sebanyak 15 % , sama dengan kehilangan darah sebanyak 0,5 liter (A. Tresna S,1991). Paparan dari karbon monoksida menghasilkan hypoxia pada jaringan. Hypoxia menyebabkan efek pada otak dan perkembangan janin. Efek pada sistem kardiovaskuler terjadi pada HbCO kurang dari 5 % ( WHO,1996).
Efek Toksik
Kombinasi dari penurunan kapasitas oksigen yang dibawa dalam darah, merusak pelepasan oksigen ke jaringan dan mempengaruhi proses oksidasi intraselular yang menyebabkan hypoxia jaringan merupakan proporsi antara HbCO jenuh dan kebutuhan oksigen. Otak, system cardiovascular, kelenturan otot skeletal, dan perkembangan janin adalah jaringan yang paling sensitive terhadap hypoxia (WHO, 1996). Dengan demikian toksik efek berhubungan dengan fungsi neurobehavioural, kapasitas latihan cardiovascular, dan efek- efek pada pertumbuhan. Seorang peneliti menemukan bahwa, anjing yang terpapar 100 ppm karbon monoksida selama 5,75 jam/hari, selama 6 hari perminggu untuk waktu 11 minggu menunjukkan tidak ada perubahan elektroenchephalographic tetapi menunjukkan kegagalan psychomotor dan kerusakan cerebral corteal yang cenderung diikuti kerusakan jalan pembuluh darah (Kindwall, 1994).
Lebih lanjut paparan karbon monoksida dapat mereduksi kapasitas penampilan aktifitas fisik pada level diatas 2,5 %. Orang dengan penyakit arteri coronary sangat sensitif terhadap karbon monoksida. Penurunan waktu pelatihan terhadap serangan anguna atau ischemia telah diamati pada HbCO level serendah 3 % dan peningkatan ventricular arrythmias pada HbCO level 6%. Menurut Manahan (1992) kadar 100 ppm menyebabkan pusing, sakit kepala dan kelelahan ; kadar 250 ppm menyebabkan kehilangan kesadaran ; dan kematian cepat pada 1000 ppm.
Menurut Sodeman (1995), jaringan yang paling mudah mengalami kerusakan oleh gas CO adalah otak dan miokardium karena kedua jaringan ini mengkonsumsi oksigen paling banyak. Kelainan serebral atau miokardial yang sudah ada sebelumnya merupakan faktor predisposisi terjadinya akibat-akibat merugikan pada kadar yang tidak menimbulkan gangguan pada orang normal. Gejala sisa lanjut mencakup demielinasi yang fatal, disfungsi serebral permanen, neuropati perifer dan bebagai akibat terhadap sistem hantaran jantung. Gas CO juga memegang peranan penting sebagai penyebab aterosklerosis. Timbunan kolesterol dalam aorta pada kelinci semakin dipercepat oleh anoksia akibat menurunnya tekanan parsial O2 atau akibat sedikit meningkatnya gas CO dalam atmosfer. Anoksia akan meningkatkan permeabilitas dinding arteri terhadap protein serum kalau diukur dengan protein berlabel isotop. Paparan kronis terhadap gas CO kadar rendah dapat menimbulkan akibat yang bermakna pada pembuluh pembuluh arteri lewat keadaan hipoksia derajat ringan. Pasien yang sudah menderita penyakit koroner dengan angina pektoris mempunyai batas keamanan yang kecil sehingga peningkatan kadar COHb dapat mencetuskan serangan nyeri iskemik.
Berikut pengaruh CO Hb ( dalam %) terhadap kesehatan :
- <>
- 1,0 – 2,0 :Penampilan agak tidak normal
- 2,0 – 5,0 :Pengaruhnya terhadap sistem syaraf sentral, reaksi panca indra tidak
normal, pandangan kabur.
- 5,0 : Perubahan fungsi jantung
- 10,0 -80,0 : Kepala pusing, mual, berkunang-kunang,pingsan,kesukaran
bernafas,kematian
(Sumber : Philip Kristanto ( 2002), Ekologi Industri.)
Persentase ekuilibrium COHb di dalam darah manusia yang mengalami kontak
dengan CO pada konsentrasi kurang dari 100 ppm dapat ditentukan berdasarkan
persamaan sebagai berikut :
% COHb dalam darah = 0,16 x [konsentrasi CO diudara(ppm)] +0,5
Nilai 0,5 merupakan persentase normal COHb dalam darah.
Berdasarkan rumus tersebut konsentrasi CO di udara dengan konsentrasi COHb di dalam darah dapat digambarkan sebagai berikut :
- Konsentrasi CO di uadara 10 ppm= 2,1 % CO Hb di dalam darah
- Konsentrasi CO di uadara 20 ppm= 3,7 % CO Hb di dalam darah
- Konsentrasi CO di uadara 30 ppm= 5,3 % CO Hb di dalam darah
- Konsentrasi CO di uadara 50 ppm= 8,5 % CO Hb di dalam darah
- Konsentrasi CO di uadara 70 ppm= 11,7 % CO Hb di dalam darah
(Sumber : Srikandi Fardiaz ( 1992),Polusi Udara dan Air.)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi BBLR
Faktor –faktor yang mempengaruhi BBLR (Mariyati Sukarni,1989 : 25) adalah :
a. Status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan
b. Perioda gestasi paling sedikit 8 bulan, jarak paling ideal anatara 18 – 36 bulan, jika pernah terjadi komplikasi.
c. Umur ibu, antara 20 – 35 tahun adalah umur-umur paling baik untuk kehamilan
d. Jumlah kehamilan dimana paling ideal adalah kurang dari 4
e. Pemeriksaan kehamilan, paling sedikit 3 kali kunjungan. Kunjungan pertama segera setelah diketahui adanya kehamilan.
Sedangkan menurut Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tahun 2000, hal V, penyebab BBLR adalah akumulasi dari kurang energi protein, anemia kurang zat besi, tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengetahuan tentang KB dan kawin muda atau hamil pada usia sebelum 20 tahun.
Penyebab lain yaitu……………
Carbon Monoksida dan BBLR
Penulis :
I Dewa MW,Staf PL Dinkes Prop. Jateng